Halaman

Selasa, 26 Januari 2016

P.A.Y.U.N.G




"Payung"

Apa yang kita tahu tentang payung? Pertemanan kita layaknya payung, semakin hari semakin merasakan apa itu pertemanan. Memang payung tidak selalu di butuhkan, tapi setidaknya dia selalu ada saat dibutuhkan, layaknya kita, saling berbeda pulau namun selalu ada saat di butuhkan. Layaknya payung, persahabatan kita selalu Meneduhkan, entah meneduhkan dengan cara apa pun. Persahabatan kita seperti payung, terpisah universitas, provinsi, bahkan pulau tapi tetap dalam satu payung persahabatan. Aku tidak tahu apa korelasi kita dengan payung, namun aku tahu persahabat bersinambung dengan payung. Dari zaman ke zaman payung diciptakan untuk satu tujuan dan tak pernah berubah tujuan, kita, punya tujuan yang sama. Bertumbuh, bersama, di bawah payung, menunggu pelangi. Aku tak pernah tahu tentang masa depan, yang aku tahu hanya menerka kita adalah masa depan. Aku tak tahu sampai kapan payung ini meneduhkan, aku tak tahu sampai kapan bibir ini tersenyum lebar, aku tak tahu sampai kapan bara api persahabatan ini menyala, yang aku tahu rencana rahasia Tuhan yang paling terhebat. Satu persatu kita mulai berpisah sambil memegang payung masing-masing, menentukan arah dimana payung ini akan berkembang. Persahabatan selalu seperti payung, meneduhkan apapun yang perlu diteduhkan. Satu yang ku tahu payung tak pernah membenci hujan, karena tanpa hujan payung tak berarti. Satu yang aku tahu PERSAHABATAN tak akan pernah membenci perpisahan, karena Tanpa perpisahan, manisnya persahabatan tak akan pernah terasa. Percayalah kawan, cerita payung ini akan sampai ke anak anak kita, dan dengan terbesit senyum katakan
"Ini Lebih Dari Sahabat, nak"

"Payung tak pernah membenci Hujan, karna tanpa hujan, payung tak berguna. Persahabatan tak pernah membenci Perpisahan, karna Perpisahan mengajarkan Indahnya pertemuan."

-Hendrik Hamonangan Siahaan, 2016, Payung-

Kamis, 30 Juli 2015

Short Story






“Cause my girl, they all dont matter,
cause you dont even have to try”
-Adhitia Sofyan, number one-

Malam ini hanya sedikit cerita, tanpa adanya hujan, terlebih terik matahari. Di kota penuh asap, dari ribuan kendaraan, sudah sewajarnya ibukota seperti ini. Aku hidup dengan hari yang baru, kisah yang baru, tanpa tawa, tanpa sahabat, namun tetap di luka yang sama. Ada hari dimana kita harus bertanya: “Mengapa Tuhan menciptakan hati jika hanya untuk di lukai?” tapi seiring waktu berjalan aku tahu jawabannya, karena itu cara spesial Tuhan mengatakan orang yang kamu pilih itu salah.
            Love is blind”
Kendaraan lalu lalang tepat di depanku, seakan kami mencari satu tujuan. Setiap kendaraan di ciptakan memiliki tujuan, kapal untuk berlayar, pesawat untuk terbang, bis untuk berpergian, tapi aku? Hanya berdiam seperti aliran sungai mencari dimana hulu berada, banyak orang bertanya apa tujuan ku hidup? Aku hanya menjawab, jika kalian mempunyai tujuan hidup kalian akan tak berguna saat kalian sudah melengkapi tujuan hidup kamu.
            “Life to find God”
Kakiku terhenti di sebuah stasiun kereta, tepatnya di gambir. Kereta dengan kecepatan 100km/jam melewatiku seperti petir yang saling bersambut dengan awan yang sudah pasti begitu gelap, aku terpaku pada seorang wanita yang membawakan sebuah papan di dadanya bertuliskan “Mengapa aku bisa menaiki kereta selaju ini sedangkan aku tidak bisa mengejarmu beberapa langkah saja?” aku mulai mendekati wanita tersebut, perlahan, tidak ingin memecahkan suasana.
            “Aku sudah 2 tahun selalu seperti ini, he never come back to me”
beberapa saat aku terdiam, seakan mencoba menjiwai keadaan. Her boyfriend was died. Di stasiun ini lelaki itu berjanji untuk ke kampung gadis ini, melamarnya, dan menikah. Terkadang aku bertanya, mengapa kita harus meninggalkan apa yang harusnya kita bawa? Sekarang aku mengerti, Tuhan itu misterius.
            “Leave it for better”

            “Love, Life, Leave” it’s worse, but they all been with it. 


”My friends they all been telling me that you’re no good”
-Adhitia Sofyan, in to you-

Rabu, 06 Mei 2015

Blind Man



“Lihat dirimu semakin jauh mengayuh
lewati segala tujuan hidup yang
mungkin kau tempuh”
-Sheila On 7-



Malam ini hujan datang lagi, entah seberapa cintanya hujan dengan kota ini, seakan melengkapi. Aku tak tahu apa yang berbeda dari kota ini, seperti selalu ada hal yang sukar tuk di lewatkan, mulai dari masa kecil hingga masa tumbuh dewasa, masa dimana cinta mulai di kenal.
Terkadang aku terkagum dengan hujan, begitu sering terjatuh tapi begitu menenangkan, mungkin aku ingin menjadi hujan, sekali saja.
            “Apa kamu bisa merasakannya ?” tanya wanita di sampingku
            “Tentu bisa, dia begitu menyejukan”
            “Apa yang kamu tahu tentang dia?” tanya wanita itu lagi
            “Dia yang membuatku seperti ini, aku hanya bisa bersyukur”
            “Hanya itu saja?”
            “Seharusnya banyak tapi itu saja cukup, dan kamu?” tanyaku balik
            “Hanya dia yang bisa mengingatkanku pada lelaki itu”
            “Lelaki mana? Pacarmu?” tanyaku spontan
            “Bukan, lelaki yang pernah begitu ku banggakan, sering melindungiku”
            “Kemana dia? Pergi begitu saja?”
            “Dia ada, tidak pergi. Tapi aku belum bisa bertemu dengannya”
            “Mengapa tidak ?”
            “Aku sendiri masih mencari tahu mengapa. Kamu sendiri sudah berapa lama?”
            “2 tahun lalu, karena dia semua hal berubah di hidupku”
            “Mengapa?” tanya wanita itu menghadapku
Aku terdiam beberapa saat sambil meraba saku celanaku
            “Lihat, tampan bukan?” ku bilang sambil menyodorkan sebuah foto
            “Apakah lelaki ini artis? Apakah kamu homosex?”
            “Itu aku 2 tahun lalu, saat aku masih menjadi pramugara”
            “Lalu apa hubungan dengan dia?”
            “Dia yang membuatku seperti sekarang?”
            “Iya”
Aku menghela nafas ditemani suara petir beberapa kali
            “Baiklah. Hari itu rabu wage aku harus bekerja pada sebuah penerbangan     internasional ke selandia baru, tepat pukul 9 malam pesawat lepas landas.           Dan setelah 4 jam penerbangan ada yang aneh di luar sana, turbulensi begitu             parah, petir yang tak berhenti selama satu jam hingga kantung oksigen pun     terjatuh dari sarangnya.”
            “Apa yang terjadi?”
            “Pesawat kami mengalami lost of power dan memaksa pesawat untuk turun           pada ketinggian 6000 kaki, tak berapa lama pesawat terjatuh ke daratan di       bagian selatan australia.”
            “Lalu apa yang salah dengan kamu sekarang?”
            “Kepala ku terbentur ke bagian ekor pesawat yang notabenenya tempat       bahan bakar berada, selama 30 menit avtur merendam seluruh wajahku dan            tak berapa lama api mulai membakar wajahku. Semua orang mulai panik dan    tak menghiraukan ku, singkat cerita dokter mengatakan bahwa syukur aku     tidak mati aku hanya mendapat beberapa cacat saja”
            “Apakah ada yang menjadi korban?”
            “Hanya satu, kapten pilot kami, hingga sekarang tak di ketemukan.”
            “Bagaimana kamu menjalani 2 tahun ini ?”
            “Aku hanya bisa bersyukur hanya kehilangan 2 bola mata, tidak dengan nyawa        juga. Bagaimana dengan lelakimu tadi?”
            “Dia ayahku”
            “Mengapa kamu tidak bisa bertemu dengannya?”
Wanita di sampingku terdiam, bangku bangku di taman ini mulai kosong hanya ada aku dan wanita di sampingku.
            “Dia menghilang beberapa tahun lalu, aku lupa seberapa persisnya tahun itu, yang aku tahu dia seorang Pilot” ucap wanita dengan dandanan ala american punk.





Katahendrik,2015©

Selasa, 21 April 2015

Selalu.

Sambil nunggu part 3 dari postingan gue sebelumnya, gue bakalan kasi sedikit dari album gue.




“Karena dirimu satu satunya yang ku andalkan saat diriku tak mampu berdiri disini”
“Lagu lagu kesayangan sambil ku ingat indah wajahmu”
-Sheila On 7-





Suatu hari nanti akan ada saat dimana semuanya mengerti mengapa padi semakin berisi semakin merunduk, juga mengapa saat orang semakin jatuh cinta ia semakin gampang di bego begoin.
Selalu ada senyum yang tak terbalas di setiap tempat, entah senyumnya berbentuk apapun itu pasti selalu ada, mulai dari senyum yang terpampang jelas hingga senyum yang hanya sebatas di dalam hati. Hidup selalu seperti itu tidak selalu bercerita tentang indahnya cinta juga ada perjuangannya, paling tidak ada puluhan kali hati seseorang pernah patah.
Terlalu banyak hal yang terjadi saat seseorang berjuang, karena saat berjuang hatinya seperti gabus selalu rentan untuk patah. Mulai dari menyanyikan lagu aneh, bernyanyi di atas motor, senyum di saat membaca chat, hingga tidur pun berharap mimpi bertemu. Semakin jauh kita berjalan semakin jauh pula untuk memutar.
            “Dia teralu dalam masuk ke hidupku”
            “Luka yang dia buat terlalu sempurna”
            “Kenangan itu seperti abadi”
            “Foto, kado, chat, semuaya terlalu berharga”

Lalu kenapa bisa begitu? Kenapa dia meninggalkan? Setahuku cinta tak pernah ditinggalkan, kalau meninggalkan begitu sering. 
Tak ada alasan mengapa alasan itu begitu klasik, seakan berdua sudah begitu jauh melangkah. Satu alasan: Friendzone.
Selalu terjadi disetiap masa, friendzone.
PHP, friendzone, kakak-adik, itu bukan alasan sesungguhnya, alasan untuk apa yang terjadi adalah TERLALU BERHARAP.
Saat pengemis terlalu berharap mendapat uang lebih tanpa bekerja, selalu ada razia.
Saat cum laude terlalu berharap pekerjaan, yang terjadi pengangguran.
Saat seorang begitu berharap pacaran, yang terjadi sebaliknya.

Berharap tidak salah,
terlalu berharap yang salah.

Katahendrik,2015©

Jumat, 27 Maret 2015

Putih Abu Abu

Part II




“Tidurlah malam terlalu malam, tidurlah pagi terlalu pagi”
-Payung Teduh-

Langkahku terhenti pada sebuah kelas, kelas yang ku yakini menyimpan ribuan cerita, tidak, jutaan cerita. Dindingnya berwarna biru dengan beberapa jendela di dekat dindingnya, berlantai kayu yang mungkin saja belum pernah terganti sejak dulu, yang mungkin paling sulit terlupakan dari sebuah kelas adalah bangku juga kursi, tempat dimana semua kenangan itu terjadi. Bangku yang penuh coretan cairan penghapus bertuliskan nama teman, pacar, guru, tanggal lahir, facebook, twitter, nomor handphone, kelas, hingga alat vital pun tertulis diatasnya hahaha bukan sekedar tulisan biasa mungkin bila saat kita masih duduk di bangku itu mungkin biasa saja tapi saat kita telah meninggalkan bangku itu akan selalu ada tawa yang terbesit diantaranya. Aku bisa membayangkan betapa ricuhnya kelas saat tak ada guru, betapa easy going nya anak ips setiap harinya dan betapa sunyinya kelas ipa, selalu ada cerita saat melangkahkan kaki di setiap kelas di sekolah ini. Mulai dari papan tulis yang berganti dari kapur menjadi spidol, penghapus yang menjadi senjata andalan guru, sepatu warna warni yang pernah menginjakan kaki di kelas ini, juga tak terhitung sudah berapa pulpen yang telah lenyap di kelas ini, serambi kelas yang saat istirahat selalu penuh dengan tawa canda, percayalah saat foto terindah adalah saat di sekolah mengingatkanku tentang bahagianya masa ini.
Pikiranku melayang kemana cerita masa sekolah ini akan berakhir, masa dimana hanya sekali terjadi masa dimana akan ada cerita di ruang tamu keluarga untuk bercerita kepada anak anak kelak.
Di lorong sekolah ini dulu menjadi tempat favorit anak ipa berkumpul, mengambil gitar dan memainkan sebuah lagu aneh dari planet lain adalah yang terbaik, berlari saat guru matematika mulai berjalan dengan sepatunya yang berbunyi, tempat terdiam saat harus dikeluarkan dari kelas, ahh selalu ada kenangan di lorong ini.
Aku berjalan ke arah kelas 11, tempat yang dimana menurutku titik klimaks masa SMA terjadi. Saat jatuh cinta kepada kakak kelas, saat menunjukan kegilaan, saat prestasi diatas, saat emosi masih tinggi, juga saat dimana kita tak pernah sadar bahwa di kelas inilah begitu banyak hal yang seharusnya ditertawakan.
            “Siapa yang sudah hafal rumus sin cos tan?”
            *hening*
            “Oke, ibu panggil secara acak”
            *hening*
            “Otong maju cepat”
            *otong maju dan di keluarkan dari kelas karena nggak bisa*
            “Kamu kenapa ketawa budi, kamu sekarang yang maju”
            *budi juga maju dan di keluarkan dari kelas*
Cerita hidup paling susah di tebak, bahkan dukun pun tak bisa.
Mataku terarah ke lapangan, tempat dimana banyak keringat berjatuhan demi prestasi tapi lapangan ini menjadi ciri khas sekolah ini, tempat dimana saat upacara pelantikan OSIS berlangsung akan selalu ada tragedi kerasukan, entah darimana intinya ini sudah tradisi di sekolah ini. Kakiku melangkah lagi dan berhenti di kantor guru.

“Tak perduli seberapa banyak guru yang kau benci, suatu saat kau akan merindukan mereka”
-unknown-
Ruangan ini kosong, hanya ada suara televisi yang menghiasi kantor ini. Ku pejamkan mataku dan membukanya lagi, membayangkan kesibukan yang ada di setiap harinya, mulai dari siswa yang berlalu-lalang mengambil buku hingga orang tua yang harus menghadap wali kelas, semuanya terbayang di pikiranku. Aku melewati baris pertama di kantor ini, melihat setiap meja yang penuh dengan kenangan yang selalu tersimpan hingga aku terhenti di sebuah meja, meja guru sejarah, guru tersabar yang pernah ada yang tak pernah marah apalagi menghukum, guru yang akan pensiun di tahun ini. Beliau yang paling di kenal di nyaris seluruh angkatan di sekolah ini, dengan kacamatanya dan segudang cerita masa mulawarman. Beberapa blok dari tempat itu ada sebuah bingkai foto, foto guru guru yang aktif saat itu, tak terbayang bagaimana cerita sekolah tanpa adanya mereka terlebih tanpa mereka masa bolos tak akan pernah seseru ini.
Rasanya aku ingin berlama-lama berada di kantor ini, rindu, terlebih pada suasana di sekolah ini. Saat berlarian di lorong sekolah, saat berhenti berlari hanya untuk melihat sang pujaan, saat tersipu melihat abang kelas, saat bergosip di kantin, saat berhimpitan di wc hanya untuk merokok, saat selangkangan celana sobek karena pagar yang terlalu tinggi, juga saat masa akhir di sekolah saat kelas 12 dengan semua kenangannya. Mulai dari menjadi kakak kelas, tugas yang semakin berat, pergi subuh pulang sore, ujian praktek, dan terlebih saat study tour yang sulit di lupakan.


Next part III (last)

Sabtu, 14 Maret 2015

Putih Abu Abu

Part I




“Hidup seperti lomba lari, selalu ada garis start, persaingan, dan pastinya garis finish. Percayalah”

Rasanya baru seminggu yang lalu kita berjumpa, rasanya baru sebulan yang lalu kita menginjakan kaki di tempat ini.
Kita tak pernah tahu saat dimana kita akan berpisah untuk maju selangkah dalam kehidupan saat tersulit yang pernah terlewati.
Kakiku mulai melangkah melewati gerbang sekolah berwarna kuning dengan gapura berwana yang sama, waktu menujukan tepat pukul 06.45 waktu dimana para siswa di sini membencinya. Aku mulai melangkah mengitari serambi serambi kelas seakan masih bisa mendengar tawa canda bersama teman disaat itu.
Tidak terasa masa putih abu-abu ku mulai terkikis usia, masa dimana semua hal terindah pernah terjadi. Masa dimana selalu kita mulai membolos, dikeluarkan dari kelas, maju kedepan kelas, merasakan amarah guru killer, cinta monyet, galau, berantem, gokilnya temen sekelas, sampai ada saatnya perpisahan.
Langkahku terhenti tepat di depan papan mading, tempat dimana dulu pertamakalinya fotoku pernah terpampang. Tak terasa umur di SMA ini tersisa sebulan lagi, berbanding terbalik saat kita pertama kali masuk tempat ini.
            “Anjirr nih sekolah”
            “Bosan sekali sekolah nih”
            “Ta*k emang guru ini nih”
            “Belet yok kemane keh ?”
            Ape kau nih nyenggol aku, ku tombok gak kau nih”
           
Woi budak sanak ngolok sekola kite, ajak budak serang yok”
Thats right, sangat setuju dengan lagu everything has changed. Yang dulunya benci banget dengan sekolah bisa berubah drastis saat udah kelas 12.
Yang dulunya pengen cabut dari sekolah sekarang pengennya main ke sekolah terus.
Yang dulunya benci banget sama guru sekarang pengen foto bareng terus.
Yang dulunya dengki abis kalo di hukum sekarang sengaja telat biar di hukum.
Selalu ada masa dimana kangen masa sekolah itu muncul bung.
Dan mataku terhenti di sepasang anak kelas 11 yang sedang pacaran, jauhkan hati dari sirik apalagi iri. Inilah masa dimana cinta pertama benar adanya, masa dimana pegangan tangan lebih indah dari pelangi, masa dimana ngobrol bareng lebih seru dari FIFA 2015, masa dimana gombalan dari pacar lebih sadis dari lagunya afgan, masa dimana punya pacar lebih keren daripada punya lambhorgini.
            “Udah makan belum?”
            “Belum nih, knp?”
            “Makan bareng mau gak?”
            “Mau makan dimana? Ayukkk”
Selalu ada diantar kita yang pernah chat atau sms yang lebih ekstrim lagi
            “Eh kita sms-an begini apa pacar km nggak marah?”
Emang masa pacaran di SMA itu asik banget kalo buat flashback, nggak ada pasangan yang belum pernah pacaran di mall, jalan bareng, nanyain mau makan apa, mau nonton apa, main ke funstation or time zone lah and many more. Dan yang selalu ada di masa SMA adalah saat dimana kita putus dengan pacar. Yang dulunya kalo ketawa dikelas cekikikan sekarang berubah jadi ngebass banger, yang dulunya kalo senyum manis banget sekarang mirik jalangkung, yang dulu kalo manggil lembut banget sekarang kayak rocker, yang dulunya di bully biasa aja sekarang malah baper.
Galau di masa SMA itu hal yang paling paling wajar karena saat disinilah semua mulai terlihat, mulai datang malaikat setengah setan bernama sahabat. Mulai adanya bisikan penyemangat yang baru dari mereka, selalu ada kata kata bijak terkadang bejat yang keluar dari bibir manis mereka.
            “Udah men, barang rongsokan biarin aja sama mamang mamang” or
            “Yaudalah say, laki laki emang gitu semua” or
            “Yaudah sini aku peluk sayang”
Men, yang terakhir biasanya dilakuin cewek ke cewek jangan sampe cowok ke cowok ntar bisa cucok. Mereka adalah sahabat yang bisa di bilang keluarga kita juga, bayangin aja kita bareng ‘manusia setengah malaikat setengah setan’ itu dari jam 6 pagi sampe jam 3 sore setiap minggunya yang itu berarti setengah masa sekolah kita itu selalu bareng mereka.
Dan tujuanku terhenti di setiap kelas kelas yang ada, tempat dimana ribuan cerita pernah terangkai, tempat dimana kisah sekolah lebih edan dari lagu chrisye,



Next part II